Selasa, 20 Desember 2011

efeK Rumah kaca simbol KebebasaN

Fenomena saat ini, di mana pasar dan media tengah menyoroti musisi atau grup band yang mengusung pop-melayu, atau boy band/girl band sebagai efek akulturasi budaya Korea. Ketika media sedang rajin menyoroti fenomena ini, maka masyarakat banyak dijejali homogenitas jenis musik. Sering kita melihat di televisi, dalam acara musik, baik pagi atau sore hari, penyanyi atau grup band yang tampil hanya itu-itu saja.
Masyarakat hanya ditawarkan satu jenis musik, sehingga masyarakat gak punya pilihan dan mau gak mau memilih dan mendengarkan. Saya gak pernah mengatakan bahwa musik pop-melayu adalah musik kwalitas rendah atau ecek-ecek, dan mereka yang menyukai musik tersbut, bukan berarti berselera rendah. Yang tengah disoroti di sini adalah monopoli media massa terhadap pasar musik Indonesia.
Hal ini juga berimbas kepada para musisi. Jika mereka tidak mengikuti pangsa pasar, maka mereka akan “tidak laku”. Mau tidak mau mereka harus mengikuti selera pasar dan mengubah jenis musik mereka. Berarti kebebasan berekspresi dan berkarya di tekan. Apakah masih ada musisi atau band yang senantiasa untuk mempertahankan idealisme mereka dan melawan arus pasar yang tengah kencang berhembus.
Ternyata ada, beberapa anak muda di kota-kota besar di Indonesia masih memegang teguh idealisme mereka dalam bermusik dan memilih jalur indie label sebagai solusinya. Dengan tidak terikat dengan perusahaan label rekaman, maka mereka tidak ada keharusan untuk mengikuti selera pasar. Salah satu grup band yang bergerak di bawah bendera indie label adalah Efek Rumah Kaca.
Grup band yang terbentuk tahun 2001 ini, telah beberapa berganti nama dan personil. Pada awalnya, band ini bernama Hush, kemudian berubah menjadi Super Ego, kini menjadi Efek Rumah Kaca pada tahun 2005, yang terdiri atas Cholil (vocal dan gitar), Adrian (bass), dan Akbar (drum). Mereka mengusung aliran post-rock, atau ada juga yang menyebut shoegaze (lihat facebook ERK). Keunikan mereka bukan hanya aliran yang mereka usung, juga tema dan lirik yang mereka bawakan. Mereka kerap membawakan tema-tema sosial, budaya, politik, lingkungan, hingga psikologis, dalam lagu-lagu mereka.
Pada tahun 2007, mereka merilis album pertama dengan bertajuk Self title di bawah bendera indie label, Paviliun Record. Kemunculan mereka ternyata mendapat respon yang cukup positif dari beberapa kalangan dan media massa. Buktinya, salah satu lagu mereka berjudul “Cinta Melulu” sempat beberapa kali diputar di radio dan videonya ditayangkan di beberapa televisi swasta.
Lirik lagu sederhana dan menceritakan masyarakat, yakni kondisi musisi yang hanya membawakan lagu-lagu bertema cinta, seakan telah membuat muak, dan tidak dirasakan variatif. Sungguh langkah yang berani dan berbeda. Beberapa kalangan pun menyebut mereka sebagai sebuah band yang cerdas dengan mengangkat isu-isu yang tengah merebak di masyarakat. Pada tahun 2008, mereka merilis album kedua mereka bertajuk “Kamar Gelap”.
Tidak berlebihan jika Efek Rumah Kaca disebut bidadari penyelamat di tengah gelombang pop-melayu dan boy band/girl band yang “latah” mengikuti arus pasar. Semoga ke depannya, semakin banyak penyelamat yang muncul dan menyelamatkan musik Indonesia. Jangan sampai kreativitas dan kebebasan para musisi ditekan demi penguasaan pasar mendapat keuntungan sebesar-besarnya bagi si empunya industri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar